Menghadapi amarah anak bisa menjadi tantangan besar bagi orangtua, terutama ketika emosi anak sedang meluap-luap. Pada saat seperti ini, sikap orangtua sangat memengaruhi kemampuan anak untuk belajar mengelola emosinya. Terkadang, tanpa disadari, orangtua melakukan kesalahan yang justru memperburuk situasi atau bahkan membuat anak merasa tidak dimengerti. Berikut adalah beberapa kesalahan yang perlu dihindari saat menghadapi amarah anak agar proses mengatasinya lebih efektif dan mendukung perkembangan emosi anak.
1. Menanggapi dengan Emosi yang Sama
Kesalahan pertama dan yang sering terjadi adalah menanggapi amarah anak dengan kemarahan juga. Ini mungkin terjadi karena orangtua merasa frustrasi atau lelah. Namun, ketika orangtua menunjukkan reaksi marah, anak justru kehilangan contoh untuk belajar menenangkan diri. Sebaliknya, anak mungkin merasa semakin tidak dipahami dan berisiko mengalami tantrum yang lebih besar.
2. Mendiamkan atau Mengabaikan Anak
Beberapa orangtua memilih untuk mendiamkan anak saat marah, berharap emosi anak akan mereda sendiri. Namun, sikap ini bisa membuat anak merasa tidak penting atau diabaikan. Alih-alih menenangkan, sikap ini dapat memperburuk situasi karena anak mungkin merasa terisolasi atau tidak mendapatkan dukungan emosional yang diperlukan. Anak perlu tahu bahwa perasaannya valid dan orangtua siap mendengarkan.
3. Mengalihkan dengan Memberikan Hadiah
Terkadang, orangtua memberikan hadiah atau sesuatu yang disukai anak agar amarahnya segera reda. Namun, ini bisa menjadi kebiasaan buruk yang mengajarkan anak untuk “mendapatkan sesuatu” setiap kali mereka marah. Pada akhirnya, anak akan lebih sering marah hanya untuk mendapatkan imbalan. Lebih baik orangtua mencoba menenangkan anak tanpa memberikan imbalan yang bersifat material.
4. Menyalahkan atau Memarahi Anak karena Marah
Sering kali, orangtua langsung memarahi atau menyalahkan anak karena menunjukkan emosi marah, mungkin karena merasa anak tidak seharusnya marah dalam situasi tertentu. Sikap seperti ini bisa membuat anak merasa salah karena memiliki emosi, dan akhirnya memilih untuk menyembunyikan emosinya di kemudian hari. Padahal, rasa marah adalah perasaan normal yang perlu diterima dan dipahami oleh anak, dengan cara yang benar.
5. Membandingkan dengan Anak Lain
Salah satu kesalahan yang sering dilakukan orangtua adalah membandingkan anak yang sedang marah dengan anak lain yang dianggap lebih tenang atau lebih bisa mengendalikan diri. Contohnya, mengatakan, “Lihat, kakakmu tidak pernah marah seperti itu.” Pernyataan seperti ini justru bisa menurunkan rasa percaya diri anak dan membuatnya merasa tidak berharga. Alih-alih membandingkan, lebih baik bantu anak fokus pada cara yang lebih baik untuk mengekspresikan amarahnya.
6. Mengabaikan Penyebab Utama Amarah
Kadang, orangtua hanya berfokus pada ledakan emosi tanpa mencari tahu apa yang menjadi penyebab kemarahan anak. Padahal, mengetahui pemicu amarah anak bisa membantu orangtua memberikan respons yang tepat. Misalnya, anak mungkin marah karena merasa diabaikan atau karena menghadapi situasi yang membuatnya tidak nyaman. Dengan memahami penyebabnya, orangtua dapat membantu anak mengatasi masalah secara lebih efektif.
7. Tidak Memberikan Contoh yang Baik
Anak-anak belajar dari apa yang mereka lihat. Jika orangtua tidak menunjukkan cara yang sehat untuk mengelola amarah, anak juga akan kesulitan melakukannya. Misalnya, jika orangtua mudah marah atau sering bersikap kasar ketika kesal, anak mungkin menganggap ini adalah cara yang wajar untuk mengekspresikan marah. Orangtua sebaiknya menunjukkan sikap tenang dan berbicara dengan nada yang lembut saat anak sedang emosi, sehingga anak bisa meniru cara yang positif.
8. Memaksa Anak untuk Langsung Minta Maaf
Ketika anak marah, orangtua sering kali langsung memaksa anak untuk meminta maaf atas tindakannya, terutama jika sudah menyakiti perasaan orang lain. Meskipun permintaan maaf adalah hal yang baik, anak perlu belajar untuk melakukannya dengan kesadaran dan pemahaman. Memaksa anak minta maaf hanya akan membuatnya merasa tertekan, dan anak mungkin tidak benar-benar memahami pentingnya meminta maaf.